
Inang Matua
Seorang anak kecil dipangku seorang nenek yang begitu mengasihinya. Anak kecil itu aku ^^v
Aku rindu padanya, terpikir untuk menuliskannya di blog (jam 4 pagi nulis tentang nenek yang sudah meninggal (seram juga).
Ga kebetulan, playlist Batak di HPku tiba pada lagu “Uju Ni Ngolukku”
Ya, beliau nenekku. Kami biasa memanggilnya “Inang Matua”. Ibu dari ayahku. Ayahku anak bungsu dari 5 bersaudara, jadi sejak ayah menikah mama ikut tinggal bertiga bersama inang, ayah dan mama..Usianya bisa bayangin sendiri ya, mungkin di foto itu aku sedang berusia setahunan, dan beliau udah setua itu. Inang memang sudah meninggal, tutup usia 102 tahun pada 15 Agustus 2005, ga nyangka udah selama ini. -___-
Dalam hal ini aku ngacungin jempol deh ke mama, sanggup hidup rukun dan damai dengan mertua selama 17 tahun pemirsah..Sanggup merawat mertua yang sudah sangat renta dengan penuh kasih sayang. Kitab terbuka hidupmu untukku ma..
Secara emosional aku terikat cukup kuat dengannya, kenapa?
Mama bilang ada kemiripan antara aku dengan inang, ga tau juga miripnya dimana, maybe tingkat kecantikan (oh no) atau kecerewetan? hahhaha
Beliau adalah seorang nenek yang ga banyak tuntutan, walau yah namanya juga nenek ya pasti tetap cerewet. Sisa-sisa kecantikannya di masa muda masih keliatan sampai di usianya yang sangat renta..Rajin berdoa dan bernyanyi lagu rohani, itu selalu aku ingat darinya..
Aku yakin didikannya pasti mengakar di dalam hidupku, bagaimana tidak sejak aku lahir sampai remaja dia masih setia tinggal bersama kami, itu adalah masa-masa pertumbuhanku yang banyak membentuk kepribadianku..Banyak sekali pengalaman tak terlupakan bersamanya, aku selalu mewek jika mengingatnya.
Aku ingat sekali, kala itu aku belum sekolah, dan beliau masih kuat berjalan dan berlari. Jadilah kami kejar-kejaran di depan rumah, aku lupa kenapa. ^^
Sejak mulai masuk sekolah kelas 1 SD aku ga pernah ke ladang seperti anak lainnya di kampungku, tugasku sepulang sekolah nyuci piring, masak minum dan nasi, dan mengurus kebutuhan inangku, menyediakan makannya, memandikan, dan lainnya. Sebenarnya pada saat itu beliau masih kuat berjalan di usia 90an, namun aku bertugas menemaninya selalu. Kala itu kami masih menggunakan pemandian umum, jadi untuk nyuci piring dll aku ke pemandian umum di belakang rumah. Nah, sepulang sekolah aku lagsung bawa piring kotor ke pemandian, bermain-main bersama teman, liatin monyet-monyet di hutan dekat pemandian tersebut.
Terkadang lupa waktu, lalu terdengarla teriakan dari belakang rumah “Ikaaaaaaeeeeeee..Ikaeeeeee…”
Ya ampun aku kelupaan aku belum buat nasi inangku. hehehehe..Teriakan itu aku rindukan saat ini. Inang biasa memanggilku Ika (panggilan di rumah), adekku Sulastri dipanggil Astri (ga bisa lagi bilang L), Pilemon dipanggil Emon, Rijoi dipanggi Joi.
Tau ga, aku kadang merasa berdosa ke inang. Bukan, aku bukan anak yang jahat dan suka kasar ke inangku. Kami berempat anak yang baik, namun sebagai cucu pastilah banyak kekurangan. Setelah aku dan adikku semakin besar, kami bagi tugas di rumah, Jadinya untuk kasih makan inang tugas adikku yang ketiga, Emon. Namun sebagai anak lelaki dia sering remeh dengan tugasnya, lalu datanglah aku sang kakak memarahinya, namun ga juga mengalah buatin nasi inang. Nyadar si inang uda lapar, namun ego ini lo.walau ujung-ujungnya ngalah juga karena ga tega.
Bertahun- tahun terakhir sebelum inang meninggal, inang udah ga bisa kemana-mana. Beliau hanya bisa berada di kasur, semua harus disediakan. Makanannya harus disediakan selalu, sehingga kami jarang bisa kemana-mana, harus selalu stay di rumah untuk memenuhi kebutuhan inang. Mama patut diteladani lagi, tidak pernah jijk walau untuk urusan toilet pun inang udah benar-benar ga bisa lagi selama bertahun-tahun. Wah, mama benar-benar ga penjijik.
Salah satu hal rutin dua hari sekali yang kulakukan adalah memandikan inang. Jangan bayangkan inang jalan sendiri ke kamar mandi dan aku tinggal menyiraminya. Aku harus mengangkatnya tubuhnya yang semakin renta, mengecil (bayangin aku yang badan kecil masa itu bisa mengangkatnya) ke belakang rumah, siang bolongpun inangku harus mandi air hangat rambutnya kala itu sangattt rontok, sudah sangat tipis. Masih terasa di tanganku bagaimana aku menyampoi rambutnya, beliau suka shampo yang wangi-wangi, menyabuni tubuh keriputnya yang memang sudah sangat keriput dan banyak bercak penuaan di kulit itu, dan tertawa-tawa bersama ketika aku menyirami tubuhnya. Suara nafas tersengalnya yang seakan selalu ngos-ngosan pun masih terngiang jelas di telingaku. Beliau akan berjemur dan aku mengangkatnya kembali ke rumah jika badan dan rambutnya sudah kering kembali.
Bertahun-tahun terakhir masa hidupnya benar-benar masa dimana inangku kembali seperti anak kecil, dia suka diam sendiri, seperti sedih sendiri, merenungi masa tuanya yang sudah membuat dia bosan, beliau ingin segera dipanggil Tuhan. Sering aku mendapati beliau sedang bernyanyi lagu rohani, menangis berdoa, dan aku ga tau mau berbuat apa di kala itu. Hanya berpura-pura tidak melihat dan tidak mau mengganggu.
Sering juga, jika aku lewat di sebelah kasurnya memakan sesuatu, bukan karena makanan mahal,aku makan kerupuk ajapun, kalau aku tidak menawarinya beliau akan diam dan bersedih. Kadang beliau memintanya, kadang diam saja tapi melihat dengan wajah meminta. Terkadang benar-benar seperti anak kecil.
Bahkan saking bertahun-tahun hanya di kasur, sering sekali inang ga bisa membedakan siang dan malam. Tengah malam inang sering menggedor-gedor pintu, merasa dia sendirian di rumah karena tidak terdengar suara kami. Dia tidak suka sendirian di rumah. Padahal saat itu kami semua sedang tidur, dengan sabar mama dan ayah akan menjelaskan ke inang, kalau saat itu masih tengah malam, dengan mengerti inang pun akan tiduran kembali -____-
“Anggo ho inang boruku, jadi jolma na madear, na berhasil do akkin ho. Anggo hutori parlahomu han etek-etek nari ho das hu sonari, bujur do ho nang. Ingat ma hataku on nang, anggo ma berhasil kin ho, marenge ma uhurmu, idingat ho ma kin au nang. Aih, tongondo hape, margogo do hape hatani pakon tonggoni inangku ondi. Sonaima kin pangahapmu nang, siholan ma ho huau”
Terkadang kita memang menyadari bahwa kita bertumbuh semakin dewasa, namun kita lupa bahwa orangtua kita juga semakin tua
Maka dari itu, bahagiakanlah mereka selagi kita punya waktu. Aku akan berusaha berjuang untuk itu. Meneladani sikap mama dan ayahku mengabdi kepada orang tua, meniru mama yang mengabdi kepada mertua (ga mudah).
Dan sekarang sejak Juli 2011, nenek (ibunya mama), juga tinggal di rumah kami. Semoga kami tetap bisa menjadi rumah yang nyaman bagi nenek. Semoga oppung (nenek) juga sama betahnya di rumah seperti inang.
Rumah dan segala isinya senantiasa dalam berkat dan lindungan Tuhan..:)
God Bless
Pasabarma amang, pasabarma boru
Laho pature-ture au.
sulangon mangan ahu, Siparidion au
alani parsahitokki.
Somarlapatan marende, margondang, marembas hamu
Molo dung mate au.
Somarlapatan nauli, na denggan, patupaon mu
Molo dung mate au.
Tupa ma bahen akka nadenggan
Asa tarida sasude
Holong ni rohami, namarnatua-tua i