Living with the Uncertainties of God’s Providence – Eksposisi Pengkhotbah 11:1-6
Pengkhotbah merupakan kitab yang berisi pedoman-pedoman hikmat dan nasihat dalam menjalani kehidupan keseharian para jemaat. Hikmat ini sebenarnya milik Allah sendiri, tetapi Dia memberikannya kepada manusia, laki-laki dan perempuan (Pengk 2:26). Agar kita tidak menganggap hal ini sebagai suatu hal yang sukar dimengerti, kita diberi contoh-contoh mengenai apa yang dimaksudkan dengan hikmat praktis itu (Pengk 8:2-6; 10:1-11:6). Sebenarnya, peringatan si Pengkhotbah yang terakhir ialah bahwa kehidupan itu bukan untuk diketahui, tetapi untuk dijalani (Pengk 12:12-14).
Konteks
Pengkhotbah 11 dengan bijaksana mengatakan bahwa manusia tidak mengetahui apa yang terjadi pada masa depan, sehingga manusia harus membuat persiapan dengan membuat rencana-rencana dan keputusan yang sesuai dengan ketetapan Allah. [1] Pada bagian akhir kitab Pengkhotbah ini jemaat didorong untuk melangkah kearah yang benar, menghadapi kehidupan dengan tegas, tidak lagi merenung murung.[2]
Jemaat juga diingatkan untuk melakukan kebaikan dan amal kepada orang lain, karena masa depan tidak dapat diprediksi. Seseorang yang hidup berkelimpahan saat ini, memungkinkan untuk mengalami penderitaan di masa depan nanti. Juga diingatkan untuk memiliki keberanian dalam mengambil resiko-resiko dalam kehidupan, sebagai bentuk konkret dari iman kepada Allah, bahwa Allah memiliki kedaulatan atas segala sesuatu yang terjadi dan pemeliharaan Tuhan tidak akan pernah gagal.[3]
Manusia sulit bertahan dalam kondisi ketidakpastian, sehingga manusia sering sekali berusaha mengontrol segala sesuatu dalam kehidupannya supaya tidak mengalami resiko kehidupan yang tidak diinginkan. Pengkhotbah 11:1-6 menunjukkan bagaimana seharusnya jemaat hidup dalam ketidakpastian dengan berharap penuh pada janji pemeliharaan dan penyertaan Tuhan walaupun cara kerja Tuhan melampaui cara berpikir manusia, sehingga manusia tidak mampu untuk memahami rencana dan cara kerja Allah:
- Beranilah memberi (1-2)
- Beranilah mengambil resiko (3-5)
- Beranilah bekerja keras sebagai solusi (6)
Eksposisi
a. Beranilah Memberi (11:1-2)
“Lemparkanlah rotimu ke air maka engkau akan mendapatkannya lama setelah itu…” (11:1). Roti adalah suatu kebutuhan yang penting, dan bagian ini mengingatkan untuk memberikan roti yang dimiliki. Secara tradisi ayat ini dianggap sebagai nasihat untuk bersikap murah hati terhadap orang lain, dimana sikap bermurah hati tersebut tidak akan segera memperoleh balasannya, tetapi yang kelak akan mendatangkan upah/balasan bagi pemberinya (bdg. Luk. 16:9). Sikap bermurah hati bukanlah sikap yang berasal dari manusia sendiri, tetapi suatu bentuk perilaku yang berasal daripada Allah, sehingga manusia mampu untuk melakukannya dengan sukacita.[4]
Kita harus menekankan bahwa nasihat dari ayat ini tidak menjanjikan apapun, bahkan jaminan sekecil apapun tidak ada. Frase “mendapatkannya kembali lama setelah itu” bukan berarti kita akan mendapatkan hal yang sama persis di hari depan ataupun mendapatkannya berkali lipat, tetapi dapat dijelaskan maksudnya adalah di hari depan kita akan tetap memiliki “roti”, baik roti yang sama ataupun roti yang berbeda. Dengan memberi apa yang ada pada kita tidak akan menjadi kekurangan, karena roti yang kita simpan hari ini tidak dapat menolong kita beberapa tahun ke depan, sama seperti manna pada orang Israel yang tidak bisa dinikmati hari esok. Apa yang kita berikan kepada orang lain hari ini, tidak akan kita ingat lagi beberapa tahun kemudian.[5]
Inti dari bagian ini adalah “do not worry, learn to give and share”. Kita tidak perlu khawatir dan terlalu menjaga apa yang kita miliki supaya tetap utuh dalam genggaman, namun harus belajar untuk memperhatikan orang lain dan memberikan apa yang kita miliki untuk meringankan beban mereka. Tentu saja ini dilakukan dengan takut akan Tuhan, sehingga fokusnya bukanlah kepada diri manusia tetapi kepada Allah saja.
Pendekatan yang dinyatakan pengkhotbah sangatlah luar biasa, dengan mengingatkan jemaat untuk tidak perlu terlalu perhitungan dalam melakukan amal dan kemurahan hati.“Berikanlah bahagian kepada tujuh bahkan kepada delapan orang” (11:2a), memiliki makna bahwa kita harus memberi sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan kita kepada orang-orang yang membutuhkan. Tidak ada angka yang pasti yang ditetapkan sebagai batasan, tetapi didasari dengan kemurahan hati yang mendorong kita untuk memberikan sebanyak mungkin yang kita mampu.[6]
Mengapa kita harus melakukannya? Karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi akan hari esok, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi (11:2b). Hari esok mungkin kita tidak mampu memberi atau tidak memiliki sesuatu untuk dapat dibagikan kepada orang lain. Seseorang mungkin akan meminta tolong kepada kita, tetapi kita tidak memiliki apapun untuk menolong mereka, tidak hanya itu, suatu saat mungkin kita tidak punya apapun untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Hari ini, ketika kita masih memiliki sesuatu untuk kita bagikan, segeralah bagikan dengan tidak memperhitungkan terlalu lama, kita tidak perlu posesif terhadap apa yang kita miliki.[7]
Satu kali kelak mungkin kita berada pada posisi yang membutuhkan karena malapetaka menimpa kita. Pada waktu itulah kita bisa bersyukur dan menyadari orang yang pernah kita bantu belasan atau puluhan tahun yang lalu masih ingat dan ambil kesempatan menjadi berkat membalaskan kebaikan yang pernah kita lakukan baginya. Tidak selamanya kita berada di dalam keadaan jaya dan berkecukupan. Namun saat Tuhan memberikan semua kelimpahan di dalam hidup kita, senantiasa buka mata kita lebar-lebar dan lapangkan hati kita seluas-luasnya untuk berbagi kepada orang-orang yang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan. Itulah panggilan Tuhan kepada setiap kita pada saat-saat seperti itu.
b. Manusia tidak dapat mengontrol apapun, jadi beranilah mengambil resiko (11:3-5)
Pengkhotbah mengingatkan bahwa hidup ini penuh dengan hal-hal ketidaktentuan dan ketidakpastian, “bila awan-awan sarat mengandung hujan, maka hujan itu dicurahkannya ke atas bumi, dan bila pohon tumbang ke selatan atau ke utara, ditempat pohon itu jatuh, disitu ia tinggal terletak.”(ayat 3). Manusia tidak pernah tahu kapan dan dimana awan akan menjatuhkan hujan ke bumi, demikian pohon tidak bisa memilih akan tumbang ke selatan atau ke utara, demikian juga manusia tidak bisa memilih dan menentukan waktu dan pengalaman buruk yang akan dialami, yang bisa terjadi kapan saja. Semuanya sesuai dengan hukum alam yang terjadi secara natural, tidak terduga, dan tidak dapat dikontrol.[8] Manusia tidak dapat berkelit lalu lari dari kondisi yang terjadi, manusia harus menghadapi setiap situasi yang hadir dalam kehidupannya.
Namun satu hal yang pasti, kita tahu kesusahan dan kesulitan datang ke dalam hidup kita tidak akan melampaui kemampuan kita menanggungnya (1 Kor 10:13). Kalaupun bencana atau malapetaka itu akhirnya terjadi, firman Tuhan mengingatkan kita bahwa hal itu bukan menjadi sesuatu yang sebesar-besarnya dan membuat hidup kita menjadi hancur tanpa ada pengharapan. Malapetaka dan kesulitan itu mempunyai keterbatasannya, kita tidak akan kehilangan pengharapan dan sukacita kita karena kita tahu Allah yang tidak terbatas akan menjadi tempat pertolongan dan persandaran kita selama-lamanya. Allah yang setia akan melindungi dan memelihara kita di dalam menghadapi kesulitan dan tragedi yang datang menimpa.
“Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur, dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai…” (11:4). Fakta mengenai ketidakpastian hidup dan keabadian dari masa depan tidak membuat kita menjadi seseorang yang pasrah atau menghentikan seluruh keinginan dan aktivitas kita. Seseorang yang selalu mengantisipasi hasil, meramalkan dan menolak seluruh kemungkinan terburuk untuk memastikan dirinya dalam kondisi aman, adalah seperti seorang petani yang yang selalu melihat angin dan cuaca, dan memutuskan untuk tidak menabur karena pertimbangan yang sia-sia tersebut, melihat awan dan memutuskan tidak menuai. Seseorang yang selalu mengkhawatirkan indikasi dari cuaca, dan menentukan rencana berdasarkan kondisi awan, adalah seseorang yang terlalu takut akan resiko.[9]
Kenyataannya dalam mengerjakan segala sesuatu dalam hidup selalu dibarengi dengan resiko, kita tidak pernah mampu untuk menolak kegagalan yang mungkin terjadi, tetapi kita dapat melakukan yang terbaik dan menantikan hasilnya dengan penuh harapan. Kegagalan di masa lalu tidak perlu terus menghantui kita sampai hari ini, karena sukacita hidup bisa hilang kalau kita terus menyimpan kepahitan. Kecemasan akan memenuhi hati kalau senantiasa memikirkan tentang resiko apa yang akan terjadi di masa depan. Jikalau terus menerus menghitung-hitung banyak hal kita tidak akan bisa mampu melakukan apapun dengan kondisi dan kemampuan kita saat ini. Karena banyak ketidakpastian di masa depan yang dapat melumpuhkan hidup kalau tidak disikapi dengan bijaksana.
Sikap yang seharusnya kita miliki sebagai orang yang percaya kepada Tuhan adalah kesadaran bahwa kita hanya dapat memprediksi dan mengantisipasi kondisi ke depan. Melihat awan mendung kita memprediksi hari akan hujan sehingga kita bersiap membawa payung dan memakai jaket yang lebih tebal. Kita tidak bisa mengontrol cuaca itu, kita tidak bisa mengontrol hari tidak akan hujan, kita tidak bisa menduga kapan hal itu akan terjadi. Hujan itu bisa datang lebih cepat dari perkiraan, hujan itu bisa datang secara mendadak, hujan itu bisa turun lebih lebat daripada yang kita duga, atau bisa jadi hujan ternyata tidak turun hari itu. Itu semua adalah di luar dari kontrol kita.
“Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu” (11:5). Manusia tidak mampu untuk memahami jalan pikiran dan rencana Allah, sehingga tidak memiliki kuasa untuk menolak proses natural seperti yang direncanakan oleh Allah. Kita tidak bisa melihat bagaimana angin bergerak, pun tulang-tulang anak yang berkembang dalam Rahim ibunya, lalu mengapa kita ingin merasa mampu untuk mengontrol situasi dalam hidup?[10]
Kita harus menyadari bahwa hidup penuh dengan misteri yang sulit dipahami manusia, demikian juga kinerja alam yang seolah menambah ketidakmengertian kita akan apa yang terjadi. Kita tidak bisa melihat apa yang Allah lakukan pada sesosok janin di dalam kandungan, hanya bisa takjub dan kagum betapa Tuhan menjadikan seorang manusia yang memiliki tubuh dan jiwa di dalam kegelapan rahim itu. Ayat ini memberi kita janji yang indah, saat ini kita mungkin hidup kita ada di dalam kegelapan dan ketidak-pastian, kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya, namun seperti Allah membentuk tulang, daging dan jiwa di dalam kandungan, demikianlah Allah menjadikan sesuatu dari yang kita tidak tahu dan yang kita tidak bisa kontrol. Itulah sukacita dan pengharapan hidup kita. Seperti bayi yang dikandung ibunya dirancang Tuhan dengan sedemikian detail, hidup manusia pun dirancang dengan sangat detail sebagai bagian dari pemeliharaan Tuhan atas kita (God’s providence). [11]
Kita memang tidak selalu mampu memahami apa yang sedang Tuhan kerjakan, tetapi kita bisa terus percaya padaNya sebagai Allah yang mengasihi kita. Kemudian Tuhan juga memberikan kemampuan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi, sehingga ketika masalah tersebut muncul tanpa diduga, kita bisa lebih siap dalam menghadapinya. Kita lebih mampu untuk melihat setiap kondisi dari sudut pandang Allah yang memang sulit untuk kita pahami, namun kita percaya bahwa apa yang Ia ijinkan terjadi adalah yang terbaik, yang akan membentuk kita menjadi suatu pribadi yang lebih baik, dan kehidupan yang semakin penuh di dalam Tuhan
c. Berani Bekerja Keras Sebagai Solusi (11:6)
Pengkhotbah menawarkan solusi apa yang harus dilakukan seperti yang dituliskan “taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik” (11:6). Kita tidak berfokus pada tujuan yang dibuat oleh manusia, karena kita tidak dapat memprediksi apa yang akan terjadi, tetapi kita harus fokus pada apa yang dapat dikerjakan oleh tangan kita pada saat ini juga tanpa terlalu banyak pertimbangan.[12]
Ketidakmampuan kita untuk mengontrol segala sesuatu tidak seharusnya membuat kita menolak berjuang untuk masa depan dan bersikap apatis dengan apa yang menjadi tanggungjawab kita. Menaburkan benih pada pagi hari artinya kita harus aktif dan rajin dalam menekuni panggilan yang sudah Tuhan sediakan untuk masing-masing orang, baik sebagai pebisnis, petani, hamba Tuhan, pegawai kantor atau bidang apapun itu. Janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari artinya kita harus terus aktif bekerja dari pagi sampai sore hari, bukan berarti sepanjang siang kita bisa beristirahat karena suasana yang begitu panas. Kalimat ini merupakan suatu panggilan untuk menghabiskan sepanjang hari sebagai seseorang yang aktif dan bekerja keras. Bekerja dibawah pimpinan Roh Kudus adalah berkat, bukan sebuah kutukan, hindari banyak godaan, dan tingkatkan kebijakan dalam diri.[13]
Kita tidak pernah tahu bagian manakah yang akan berhasil dan gagal dari apa yang kita kerjakan, hanya Tuhan yang tahu dan dapat mengontrol hal tersebut. Sehingga tidak perlu terlalu mengontrol segala sesuatu untuk hari esok, lakukanlah apa yang dapat dilakukan hari ini dengan bekerja keras. Hasilnya mari kita percayakan kepada Tuhan dan mempersembahkannya untuk kemuliaan namanya. Memang memerlukan iman yang teguh untuk dapat melakukan semua hal di atas dengan baik, karena kita manusia berdosa yang rentan dengan kejatuhan dalam dosa dan juga keinginan untuk menguasai hidup kita sendiri. Namun sebagai anak-anak Tuhan, hendaklah kita bersandar penuh pada penyertaan dan pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan kita.
Penutup
Pengkhotbah mengingatkan kita untuk hidup dengan berani, yaitu dengan mengandalkan pemeliharaan dan penyertaan Tuhan yang terkadang rasanya tidak pasti. Penyertaan dan pemeliharaan Tuhan adalah sebuah kepastian, hanya saja Ia melakukannya dengan cara yang penuh misteri dan sulit untuk dapat dipahami oleh manusia. Sehingga kita harus hidup dengan berani, bersandar penuh pada cara-cara Allah yang ajaib, dengan melakukan apa yang menjadi bagian kita. Hidup sebagai anak Tuhan yang murah hati, berani mengambil resiko, mempercayai Allah sebagai penguasa atas segala sesuatu, dan bekerja keras memang tidak mudah, membutuhkan daya juang dan iman yang teguh untuk tetap hidup dengan berani dalam semua ketidakpastian tersebut. Namun satu hal yang terus menguatkan kita adalah penyertaan Tuhan yang selalu baru setiap hari, yang memampukan kita untuk bergantung penuh kepadaNya sehingga hidup kita dapat dijalani dengan sukacita.
BIBLIOGRAFI
Green, Denis. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1984.
Kidner, Derek. Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1997.
Bullock, C. Hassel. An Introduction to the Old Testament Poetic Books. Chicago: The Moody Bible Institue, 1988.
Ellul, Jacques. Reason for Being: A Meditation on Ecclesiastes. Michigan: Grand Rapids, 1990.
Bartholomew , Craig G. Eccleasiastes. Michigan: Grand Rapids, 2009.
Spence, H.D.M. dan Exell, Joseph S. The Pulpit Commentary Volume 9: Proverbs,Eccelesiastes, Song of Solomon. Peabody: Hendrickson Publisher, 1889.
[1] Denis Green, Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 1984), 141.
[2] Derek Kidner, Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini (Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1997),110.
[3] C. Hassel Bullock, An Introduction to the Old Testament Poetic Books (Chicago: The Moody Bible Institue, 1988), 203.
[4] Jacques Ellul, Reason for Being: A Meditation on Ecclesiastes (Michigan: Grand Rapids, 1990), 192.
[5] Ellul, Reason for Being, 192.
[6] Craig G. Bartholomew, Eccleasiastes (Michigan: Grand Rapids, 2009), 336.
[7] Ellul, Reason for Being, 194.
[8] H.D.M. Spence dan Joseph S. Exell, The Pulpit Commentary Volume 9: Proverbs, Eccelesiastes, Song of Solomon (Peabody: Hendrickson Publisher, 1889),276.
[9] Spence dan Exell, The Pulpit Commentary, 276.
[10] Spence dan Exell, The Pulpit Commentary, 277.
[11] Spence dan Exell, The Pulpit Commentary, 277.
[12] Ellul, Reason for Being, 194.
[13] Spence dan Exell, The Pulpit Commentary, 278.