Do You Know How to Fight a Good fight?
Les dan Leslie Parrot mengatakan bahwa kemampuan untuk mengetahui bagaimana cara bertengkar dan mengatasi konflik yang baik merupakan hal yang penting dalam mempertahankan pernikahan bagi pasangan suami istri yang berbahagia. Parrot mengatakan:
Knowing how to fight fair is critical to your survival as a happy couple. Love itself is not enough to sustrain a relationship in the jungle of modern life. Being in love is, in fact, a very poor indicator of which couples will stay married. Far more important to the survival of a marriage, research show, is how well couples handle disagreements. Many couple don’t know how to handle conflict.[1]
Jika diperhatikan lebih mendalam, memang ada banyak pasangan yang tidak memahami bagaimana cara untuk mengatasi konflik dengan baik. Sebagian orang mengira ketenangan dan kesunyian dalam rumah tangga sebagai suatu tanda keharmonisan sehingga mereka berusaha untuk meminimalisir perbedaan-perbedaan yang ada tanpa pernah benar-benar mengatasinya. Di sisi lain, ada banyak pasangan di masa lalunya melihat orang tua mereka bertengkar dengan cara yang keliru, lalu mempelajari pola-pola pertengkaran tersebut, sehingga ketika mengalami konflik dengan pasangan, pertengkaran mereka dengan segera berubah menjadi penghinaan dan perlakuan kasar.[2]
Sesungguhnya konflik di dalam pernikahan adalah hal yang normal, karena setiap pribadi adalah unik dan memiliki latar belakang yang berbeda. Bahkan dalam pernikahan yang paling ideal pun pasti terdapat konflik, Permasalahannya adalah bagaimana cara pasangan dalam meresponi setiap konflik yang muncul dalam pernikahan mereka.[3] Begitu banyak pasangan yang memiliki persepsi yang salah bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri mereka merupakan kelemahan yang dapat merusak pernikahan, dibandingkan dengan memiliki pemikiran yang positif bahwa Tuhan dapat membuat perbedaan tersebut menjadi kekuatan dalam pernikahan.[4]
Sumber konflik dalam pernikahan sangat beragam, tidak hanya permasalahan yang besar, tetapi juga hal-hal sepele. Karena apa yang dianggap penting oleh seseorang, belum tentu penting bagi pasangannya. Jadi, faktor bawaan (predisposing factor) menjadi penentu utama konflik, sebelum faktor pencetus (precipitating factor) muncul. Misalnya pasangannya melakukan kesalahan, sebenarnya individu tersebut sudah siap untuk konflik. Inilah yang disebut predisposing misalnya mood atau suasana hati yang pada saat itu sudah tidak enak, terlalu lelah, munculnya prasangka-prasangka, atau berbagai kegelisahan hati yang lain.[5] Bila menyangkut hal yang besar, penelitian menunjukkan bahwa masalah keuangan merupakan sumber konflik yang paling sering menjadi permasalahan dalam pernikahan. Dimana dua orang yang berbeda, yang tentu saja sering sekali memiliki harapan, tujuan dan cara menggunakan uang yang berbeda.[6]
Bagaimana cara kebanyakan pasangan dalam menghadapi konflik yang terjadi? Salah satu cara tradisional dalam menghadapi konflik adalah dengan menekan dan mendiamkan masalah, dan berusaha melupakannya. Hal ini dipandang sebagai cara yang baik dan sesuai dengan ajaran kekristenan, membahas masalah yang terjadi hanya akan membuang energi dan waktu serta merusak kesaksian hidup. Cara yang lain adalah dengan mengekspresikan perasaan dengan terang-terangan sampai menimbulkan pertengkaran yang hebat. Kedua cara di atas tidak dapat menyelesaikan konflik yang ada, namun dapat memperburuk keadaan dengan masalah yang terus menerus berkembang menjadi lebih besar.[7]
Lalu bagaimanakah cara yang paling tepat dalam menghadapi konflik yang muncul dalam pernikahan? Mylander mengungkapkan beberapa tips dalam menghadapi konflik pernikahan dengan cara yang membangun kedua belah pihak, dengan membandingkannya dengan cara yang merusak, yaitu pada tabel di bawah ini:[8]
Cara yang Merusak | Cara yang Membangun |
|
|
Susabda juga mengungkapkan bagaimana pasangan Kristen memiliki cara penyelesaian konflik yang sehat dan benar, sehingga dapat terus belajar dari berbagai konflik dan tidak mengulang-ulang hal yang sama tanpa adanya perubahan sikap yang lebih dewasa. Oleh sebab itu, berbicara cara mengatasi dan menyelesaikan, mereka harus memahami dan menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:[9]
- Setiap pasangan seharusnya menjadi individu-individu yang mempunyai keinginan untuk bertumbuh di dalam Kristus. Munculnya keinginan ini tidak dapat dibuat-buat dan juga bukan merupakan akibat dari janji yang diucapkan. Dorongan ini merupakan buah dari hubungan pribadi yang sehat dengan Kristus. Ditandai dengan kerinduan berdoa dalam pergumulan yang jujur di hadapan Allah, membaca Alkitab dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, dan membaca buku rohani.
- Setiap pasangan adalah individu yang mempunyai keinginan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih dewasa. Ia selalu ingin belajar, ingin memberi dan bukan hanya menuntut, bersedia berkorban dan melayani pasangannya, serta bersedia untuk menjadi dewasa. Tanpa keinginan dan motivasi yang tulus, maka penyelesaian konflik semata-mata hanyalah untuk membebaskan diri dari gangguan, individu yang tidak mempunyai keinginan untuk menjadi lebih dewasa cenderung egosentristik dalam penyelesaian konflik.
BIBLIOGRAFI
Anderson, Neil T. dan Mylander, Charles. The Christ Centered Marriage: Discovering And Enjoying Freedom In Christ Together. California: Regal Books, 1996.
Les dan Parrot, Leslie. Saving Your Marriage Before It Starts: Seven Questions To Ask Before (And After) Your Marry. Michigan: Zondervan, 1995.
Susabda, Yakub. Konseling Pranikah: Sebuah Panduan Untuk Membimbing Pasangan-Pasangan Yang Akan Menikah. Jakarta: Mitra Pustaka.
Wallerstein, Judith S. dan Blakeslee, Sandra. The Good Marriage: How & Why Loves Lasts (Boston: Houghton Mifflin Company, 1995.
Wright, H. Norman. So You’re Getting Married. California: Regal Books, 1985.
[1] Les dan Leslie Parrot, Saving Your Marriage Before It Starts: Seven Questions To Ask Before (And After) Your Marry (Michigan: Zondervan, 1995), 113.
[2] Parrot, Saving Your Marriage, 113.
[3] H. Norman Wright, So You’re Getting Married (California: Regal Books, 1985), 187.
[4] Neil T. Anderson dan Charles Mylander, The Christ Centered Marriage: Discovering And Enjoying Freedom In Christ Together (California: Regal Books, 1996), 126.
[5] Yakub Susabda, Konseling Pranikah: Sebuah Panduan Untuk Membimbing Pasangan-Pasangan Yang Akan Menikah (Jakarta: Mitra Pustaka), 88.
[6] Judith S. Wallerstein dan Sandra Blakeslee, The Good Marriage: How & Why Loves Lasts (Boston: Houghton Mifflin Company, 1995), 144.
[7] Wright, So You Are, 189.
[8] Anderson dan Mylander, The Christ Centered Marriage, 135.
[9] Susabda, Konseling Pranikah, 91-92.
2 Comments
your twin
Terima kasih mbak Er…
Tulisan ini sangat mengisi…
lop yu poreber…
“go married”
Erika H Sinaga
monmaap baca komennnya dua tahunan kemudian LOL