Believer,  Premarital Relationship

Konseling Pranikah 1 – Tujuan Allah dalam Pernikahan Kristen

Gold wedding bands placed on a King James Version Bible

Pacaran bagi orang Kristen adalah masa perkenalan antara dua pribadi secara khusus dengan tujuan pernikahan. Disebut secara “khusus’, oleh karena pacaran bukan hanya sekedar masa perkenalan. Ada unsur-unsur tertentu yang seharusnya tidak ada dalam masa perkenalan pada umumnya yang harus ada dalam masa pacaran. Dua pribadi yang berlawanan jenis itu mengambil sikap untuk mengkhususkan kebutuhan hubungan antara mereka berdua. Meningkatkan hubungan mereka dalam pengalaman-pengalaman interaksi yang semakin lama semakin semakin pribadi sifatnya untuk mencapai tujuan bersama yaitu pernikahan.

Tujuan Allah dalam Pernikahan Kristen

Pernikahan Kristen memiliki keunikan yang disaksikan melalui Alkitab, bahwa Allah memiliki maksud dan kehendak di balik penciptaan dan pelembagaan pernikahan dan kelurga. Allah berinisiatif bahwa melalui pernikahan akan terjadi ikatan batin antara suami dan istri, dimana masing-masing memberikan yang terbaik, kreatif dan memperkaya diri masing-masing, membangun mutual relationship dan saling melengkapi dalam hubungan pernikahan. Jadi pernikahan ada di dalam rencana Tuhan, dan semuanya berasal dan diawali oleh Tuhan, bukan berasal dari ide dan pikiran kreatif manusia.

Melalui pernikahan Allah menginginkan adanya tujuan sebagai berikut:

  1. Prokreasi, yaitu supaya manusia beranak-cucu dan bertambah banyak sehingga mereka dapat memenuhi bumi. Artinya supaya anak manusia dapat mengisi segala sisi dan aspek yang ada dengan “kehidupan yang mereka kerjakan”. Anak yang lahir dalam setiap keluarga merupakan titipan dari Allah, untuk dididik dan dipersiapkan menjadi rekan sekerja Allah yang akan mengerjakan bumi dengan segala aspek kehidupannya. Karena tanggung jawab yang sangat besar ini, pasangan harus mempersiapkan diri sebaik mungkin supaya siap dipakai oleh Allah untuk mempersiapkan anak-anak datang kepada Tuhan dan mencintaiNya sepenuh hati. Orang tua yang tidak siap akan mendidik anak seturut dunia dan tidak bertanggungjawab dengan perkembangan anak-anaknya.
  2. Kerekanan antara Allah dan manusia, pernikahan dilembagakan supaya menjadi rekan kerja Allah dalam mempersiapkan anak-anak sesuai dengan talenta yang dimiliki dan memilih pekerjaan sesuai yang disediakan oleh Allah. Karena dunia ini juga menyediakan banyak sekali pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kemuliaan dan rencana Allah di bumi, sehingga pasangan harus benar-benar menggumuli dan mempersiapkan anak-anak titipan Allah untuk mengerjakan bagian sesuai dengan rencana Allah atas diri mereka.

Tujuan Allah dalam pernikahan dapat tercapai tentu saja ketika seorang percaya memilih pasangan yang juga memahami prinsip dan tujuan pernikahan Kristen, sehingga dapat mengerjakan tujuan tersebut bersama-sama. Dalal hal ini pasangan yang akan menikah haruslah seiman dan sepadan, sehingga rencana Allah dalam pernikahan dapat terwujud.

  1. Pasangan yang Seiman

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan teman hidup antara lain:

  • Dewasa, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara emosi, sehingga secara sadar ingin “meninggalkan” (leaving) orang tua, bukan dalam maksud mengabaikan tetapi tidak lagi bergantung kepada orng tua dalam hal emosional, sudah mampu mengambil keputusan sendiri, memutuskan benar atau salah, menentukan hal-hal yang disukai, dan tidak bergantung kepada orang tua dalam hal finansial (ready for self support).
  • Cleaving, mampu melakukan hubungan timbal balik dan mutual dependency, yaitu saling ketergantungan dengan pasangan. Resiko menikah adalah kehilangan seluruh milik dan kebiasaan hidup, sehingga membutuhkan kesiapan yang sangat baik. Orang dewasa membutuhkan rasa saling bergantung, dan membutuhkan seseorang untuk hidup bersama.

Iman adalah anugerah yang tidak bisa dihindari oleh seseorang dimana seseorang sudah diposisikan di hadapan Tuhan, dan hanya memiliki satu pilihan yaitu memuji dan memuliakan Dia. Tiap dosa harus ditargetkan untuk dikaitkan dengan kasih karunia, sehingga dapat diselesaikan dan mengalami kemenangn atas dosa. Dengan mendapatkan anugerah dari Tuhan, manusia dapat menginginkan apa yang sudah Allah sediakan bagi dirinya. Karena dunia ini begitu menarik dan menawarkan banyak kenikmatan yang bertentangan dengan Allah, namun dengan iman manusia tetap tertarik dengan hal-hal yang disediakan Allah untuk dirinya.

Dalam memilih teman hidup haruslah yang seiman serta level iman yang setara, karena seseorang yang dewasa secara iman akan sulit bertumbuh dan memasuki level iman yang lebih dewasa jikalau menikah dengan seseorang dengan level iman yang masih bayi rohani.

James Fowler mengusulkan enam level iman, yaitu:[1]

Fase 0: Undifferentiated Faith, yaitu faseiman dengan struktur jiwa prebirth-infancy (belum lahir sampai dengan bayi). Meskipun kemudian pada masa ia sudah dewasa, individu dengan vase ini belum juga mengerti apa yang menjadi alasan di belakang tingkah laku agamanya.

Fase I: Intuitive Projective Faith, yaitu fase jiwa yang banyak dipengaruhi oleh fantasi, tingkah laku rohani semata-mata imitatif, mencontoh apa yang dilakukan orang lain tanpa pengertian sama sekali. Ia kelihatan seolah-olah saleh, berdoa bercucuran air mata karena memang budaya gerejanya seperti itu.

Fase II: Mythical Literal Faith, fase ini adalah fase dari pribadi dengan struktur jiwa dengan perkembangan nalarnya, ia sudah mulai berpikir dan memberi penilaian atas realita yang dihadapi. Pikirannya masih sangat konkret dan cenderung berpikir secara dualistik dengan konsep hitam putih, ia belum mampu berpikir abstrak sehingga pikirannya mengenai Allah semata-mata refleksi dari pengalaman dan hubungannya dengan kedua orang tuanya. Satu sisi ia memakai simbol rohani dengan penghayatan mistik bahwa simbol tersebut mempunyai kekuatan untuk membujuk Allah mengabulkan permintaannya.

Fase III: Syntetic – Conventional Faith, yaitu yang sudah dapat berpikir abstrak sehingga memikirkan sesuatu secara holistik integratif. Semua aspek cenderung disintesiskan sehingga hidup ini secara ideal harus merupakan jati dirinya (identitasnya) menyebabkan ia cenderung menyederhanakan kebenaran dan realita “seolah-olah semua dapat disatukan).  Pemikiran yang abstrak dan realita kehidupan konkret sehari-hari pun dapat menjadi satu kesatuan yang utuh. Allah yang abstrak dapat dihayati dengan penghayatan nyata sama seperti pengalamannya dengan sahabat dan sesama teman. Fase ini sering sekali masih mengecewakan karena pengetahuan yang banyak sering sekali tidak dapat dipraktekkan

Fase IV: IndividuativeReflective Faith, yaitu pribadi yang sudah menemukan jati dirinya dan dapat menghargai keunikan-keunikan pengalamannya sendiri. Individu pada fase ini menyadari bahwa hidup tidak sesederhana yang ia lihat, mulai dapat membangun keunikan imannya sendiri, bahkan berani mempertanyakan hal-hal prinsip yang selama ini dipelihara bersama kelompok atau gerejanya. Ia sekarang menghidupi iman yang ia alami sendir, iman yang merpakan refleksi pengalamannya secara pribadi dengan Tuhan. Tetapi ia tidak memberikan tempat pada dimensi yaang belum ia kenal, ia tertutup untuk itu. Akibatnya ia sering eksklusif dan prejudis terhadap dimensi iman yang dirasakan oleh orang lain.

Fase V: Conjunctive Faith, yaitu seseorang yang sudah memiliki kesadaran diri yang semakin berkmbang dan memahami akan kompleksnya kehidupan. Ia sekarang dapat menghayati betapa realita hidup dapat dibangun dari unsur-unsur paradoks. Dengan terbukanya jiwa dan pemikirannya, individu ini menjadi toleran dan dapat berdialog dengan tulus dengan merek dari latar belakang dan agama yang berbeda, mulai merasakan kehidupan kristiani yang bebas dari unsur batu sandungan.

Fase VI: Universilizing Faith, yaitu fase dimana seseorang sudah menemukan integritasnya, kebenaran,kasih dan keadilan ilahi seolah-olah menyatu dan menjadi bagian integral dari dirinya. Seluruh tujuan hidup dan cita-cita pribadinya adalah untuk merealisasikan kehendak Allah yang berlaku secara universal tersebut. Tidak heran jika individu pada fase iman tertinggi ini rela mati untuk kebenaran yang diyakininya. Hanya Tuhan Yesus Kristus yang dapat melewati fase iman ini.

Bagaimana kita dapat memiliki level iman setara minimal dengan individuated reflective faith? Kita dapat memiliki iman seperti itu jikalau sudah benar-benar menerima anugerah dari Allah. Dengan memiliki pengalaman secara pribadi dengan Allah, kita juga memiliki spiritual self awareness dan honesty, baik terhadap diri sendiri dan juga kepada Allah. Kita juga akan terus mengalami kegelisahan rohani yaitu ANGST,  karena Tuhan tidak bisa dikenal, tidak bisa disentuh, tetapi bisa dialami.

Dengan memiliki level iman yang setara dengan pasangan, pasangan akan semakin mudah dalam menyelaraskan langkah dalam mencapai tujuan Allah dalam pernikahan, karena pasangan memiliki kesadaran yang sama bahwa Allah adalah yang terutama dalam keluarga dan mereka akan menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Allah.

  1. Pasangan yang Sepadan

Dalam mencari teman hidup hendaklah mencari yang sepadan, karena pasangan akan menjalani kehidupan bersama dimana keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, cara berpikir, sistem nilai, hal yang disukai dan tidak disukai, dan banyak hal yang sulit untuk dapat disesuaikan begitu saja. Hal-hal sederhana dapat menjadi konflik yang besar jikalau pasangan tidak memiliki kemampuan untuk saling menyesuaikan.

Banyak pasangan yang menjalin hubungan berpacaran dalam jangka waktu yang lama, tetapi tidak mengenal satu sama lain karena mereka kurang memiliki keterbukaan dan keberanian untuk saling menegur, mereka tidak mengenal secara objektif. Pertemuan-pertemuan yang diadakan juga hanya berisi kegiatan-kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan pengenalan secara personal, keinginan untuk mengenali secara pribadi sangat kurang, sehingga waktu berlalu begitu saja.

Kesepadanan memiliki beberapa level, yaitu:

  1. best friend, keduanya dari awal completely matching, dan ini sangat jarang terjadi.
  2. close friend, berperan seperti sahabat satu sama lain, saling take and give secara seimbang, saling memberi, mengerti, dan God’s purpose mudah terjadi, peluangnya sangat besar, ketika ada masalah dapat diselesaikan dengan baik sehingga terjadi pertumbuhan pada kedua belah pihak
  3. casual friend, pertemanan yang menyenangkan namun tidak memiliki tujuan yang jelas, tidak mau ada masalah yang membuat suasananya tidak nyaman, semua harus dalam kondisi baik-baik saja.
  4. familiar person, pasangan menjadi seseorang yang familiar, tetapi tidak ada interaksi yang hangat, tidak tahu menahu satu sama lain, karena ada suatu jurang pemisah yang besar sekali bahkan cenderuang sudah tidak peduli dan tidak ingin memperbaikinya.
  5. stranger, pasangan dianggap seperti orang asing, merasa dirugikan dengan kehadiran orang itu.
  6. enemy, pasangan dipandang sebagai musuh, hubungan menjadi merosot, mungkin karena abuse, selingkuh, menyakiti papa dan mama pasangan, saling mulai membenci dan menyakiti.

Pasangan yang sepadan seharusnya minimal berada pada level close friend, karena di dalam hubungan akan menemukan perasaan bahagia kren semakin lama semakin menemukan diri dan bertumbuh karena bergaul semakin dekat dengan Tuhan. Adanya perasaan saling menghargai dan kemauan untuk saling menstimulir pertumbuhan rohani masing-masing, tentu semakin menolong pasangan untuk lebih bertanggungjawab dan dewasa rohani. Konflik memang akan tetap terjadi, tetapi dapat diatasi dengan cara yang tepat.

 

 

[1] Yakub Susabda, Mengenal dan Bergaul dengan Allah (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), 17-23.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *