Believer,  Personal Stories,  Single Woman 101

Love Letter To My Godly Man *4

Medan, 27 Juli 2015

Syalom Honey..

Bagaimana kabarmu di kejauhan sana?Aku sangat berharap kamu baik-baik saja, masih menikmati setiap aktivitas dan tanggungjawab kamu.
Maafkan aku baru bisa menuliskan suratku yang ke-empat ini, sementara ada banyak hal yang telah kita lalui bersama-sama, selama hampir empat bulan kita resmi menjadi sepasang kekasih. Bersyukur sekali kamu benar-benar sudah membaca surat pertama sampai surat ketigaku dan aku bisa melihat ekspresi sukacita yang mendalam di wajahmu ketika membaca suratku yang awalnya tak bertuan itu. Wahhh, bahagia rasanya bisa melihatmu tersenyum tersipu membaca suratku itu. Lebih bahagia lagi karena surat-suratku selanjutnya sudah memiliki tuan yang wujudnya dapat dipertanggungjawabkan. Aku ga sedang bermimpi lagi kan? 
Aku berharap surat-suratku sebelumnya tidak menjadi beban bagimu, hmm maksudku membuatmu banyak mengoreksi diri, menilai apakah kamu sudah sesuai dengan harapan-harapan dan standar teman hidup yang kubangun selama ini. Aku menyadari bahwa Tuhan lebih tau tipe pria yang kubutuhkan, lebih daripada yang kuinginkan. Dan tenang saja, hampir semua kriteria yang kubutuhkan ada padamu, walaupun dengan versi yang berbeda dengan yang kubayangkan selama ini. Maafkan aku yang terlalu banyak berkhayal dengan idealismeku dalam memilih pasangan hidup.
Kamu masih ingat ga, perkenalan kita yang tertunda selama dua minggu hanya karena sahabat kita berpikir sangat lama hanya untuk memperkenalkan kita. Awalnya kita sama-sama merasa sedang tidak ingin fokus kepada teman hidup, masih sibuk dengan mimpi masing-masing, mengejar cita-cita yang telah lama kita bangun sendiri.
Tak butuh waktu lama untuk merasa nyaman satu sama lain, berbicara dari hati ke hati, berdiskusi tentang banyak hal. Aku masih ingat betapa antusiasnya kita dalam diskusi pertama kita, mengenai panggilan hidup melalui visi pribadi dan rencana masa depan masing-masing. See? Kita menemukan kecocokan satu sama lain, obrolan demi obrolan semakin mengalir tanpa dapat kita bendung, tanpa diatur-atur, semua hanya mengalir sebagaimana adanya. 
Aku sangat menikmati persahabatan yang kita bangun, sampai pada suatu hari kamu meminta izin untuk mendoakanku secara khusus, dan memintaku untuk mendoakanmu juga, sebagai calon teman hidup. Jujur saja,  pada saat itu aku belum memiliki perasaan lebih dari seorang teman. Walau aku menyadari bahwa perhatian yang kamu berikan lebih daripada perhatian seorang teman. Aku meminta waktu untuk mendoakan secara pribadi, dan hal itu murni didasari oleh kerendahan hati dan kemauan untuk belajar membuka hati. Bisa kamu bayangkan bagaimana rasanya mendoakan seseorang untuk menguji sebagai calon teman hidup tanpa perasaan cinta? Itulah yang kulakukan selama kita berdoa. Ketaatanlah yang mendasariku mau melakukan semua dengan setia.
Aku sangat menikmati masa-masa berdoa dan bergumul diantara kita. Spiritnya sangat terasa, sangat kuat mempengaruhiku dalam menikmati Tuhan dan menjalani kehidupan sehari-hari. Setiap pagi kamu dengan konsisten bangunin aku pagi-pagi sekali untuk saat teduh masing-masing, saling mendorong untuk bersemangat melalui sharing hasil perenungan saat teduh setiap pagi, jam doa yang sangat luar biasa di setiap Selasa malam, dan Bible Reading yang kamu pimpin setiap malam, walau terkadang rasa malas menyerangku, kamu tidak menyerah untuk terus memotivasiku.
Satu hal yang aku sangat sukai dari kamu adalah kekonsistenan dalam membangun relasi kita berdua. Aku sempat berpikir bahwa semua ini hanya sementara, namun kamu membuktikan sampai hubungan kita hari ini kamu masih dengan kekonsistenan itu.
Dalam hubungan kita, apalagi dengan status Long Distance Relationship, ada banyak tantangan yang dihadapi. Baik dari segi aktifitas kita yang berbeda, karakter, pandangan yang terkadang bertolak belakang, namun semua itu tidak menghalangi kita untuk mengekspresikan kasih sayang. Aku bersyukur sampai hari ini kita belum pernah bertengkar hebat, menurutku perdebatan-perdebatan kecil itu biasa, karena kita memiliki pemikiran dan sudut pandang yang berbeda pula. Namun kusadari, perbincangan kita semakin memperkaya pemahamanku, karena kamu mampu membuka alur berpikirku lebih luas dan tentunya lebih positif. Kamu mampu membuatku merasa utuh, I’m feeling grateful whenever I remember you. Selalu berharap dan berdoa kita mampu menjalani hubungan ini dengan lebih baik lagi.
Belum pernah rasanya aku seterbuka dan seautentik ini, menjadi diriku sendiri, feeling free namun tetap belajar bertanggungjawab. Kamu selalu ingatin aku bahwa bukti cinta yang paling besar adalah ketika kita mau berjuang menjadi diri kita dalam versi yang terbaik untuk pasangan kita. Terimakasih membuatku nyaman, terimakasih membuatku merasa mampu membukakan diriku sampai tabir yang terdalam. Terimakasih ada di saat-saat tersulit, sehingga aku tidak khawatir lagi, ada Tuhan dan kamu yang selalu setia bersamaku.

I love you Mr ST

Sincerelly,

Erika

#sorryforlatepost

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *