Believer,  Marriage Life,  Uncategorized

HUBUNGAN SUAMI ISTRI DALAM SURAT KOLOSE: KOLOSE 3:18-19

LATAR BELAKANG DAN KONTEKS

Dalam Kolose 3:12-17 Paulus telah menguraikan mengenai beberapa cara hidup yang seharusnya dimiliki komunitas Kristen sebagai sebuah identitas “manusia baru”, sisi kemanusiaan yang Tuhan telah ciptakan dan berdasar kepada Kristus. Esensi utama dari kemanusiaan yang baru ini adalah mutuality yaitu kebersamaan dan adanya timbal balik satu sama lain. Dalam diri yang baru, tidak ada lagi “kafir atau Yahudi, bersunat atau tidak bersunar, orang yang biadab, diperbudak atau bebas”. Orang Kristen harus melihat diri mereka sebagai satu kesatuan tubuh Kristus, dimana sikap dan kasih satu sama lain harus diberlakukan. [1]

Pada bagian Kolose 3:18-4:1 Paulus berbicara mengenai hal yang lebih praktis. Martin Luther menyebut bagian ini sebagai Haustafel, peraturan atau instruksi rumah tangga, karena bagian ini memberikan instruksi mengenai bagaimana seharusnya para anggota rumah tangga saling berinteraksi satu sama lainnya. Rumah tangga adalah area ikatan sosial yang paling penting pada masa jemaat mula-mula, karena merupakan pusat lokasi kehidupan gereja pada masa itu, keluarga juga merupakan bagian terkecil yang membentuk sebuah komunitas besar maupun negara, keluarga juga merupakan pusat dari produksi, dimana terdapat proses pembangunan bisnis dan produksi barang-barang.[2]

Keluarga juga merupakan tempat untuk menyembah Allah, seluruh anggota keluarga bahkan termasuk budak, diharapkan berpartisipasi dalam ibadah keluarga. Karakter religius ini memiliki elemen yang spesifik, dimana keluarga berpartisipasi dan mendukung penyembahan kepada Allah dalam kota dan kerjaan, yang berarti ibadah dalam keluarga merupakan bagian dari ibadah dalam lingkup yang lebih luas yaitu ibadah yang dilakukan oleh kota dan kerajaan.[3]

Fokus dari Paulus dalam bagian ini adalah mengalihkan etika sosial Helenistik yang mengagungkan pria sebagai kepala rumah tangga yang memiliki otoritas tertinggi, kepada Kristus yang merupakan kepala jemaat. Dia adalah Allah yang kepadanya setiap orang harus berserah dan tunduk (submit). Paulus lebih memilih fokus untuk mengalihkan perhatian jemaat kepada Kristus dibandingkan harus menyerang budaya Helenistik pada saat itu. Karena konfirmasi mengenai keilahian Kristus, Paulus dapat mengingatkan wanita (3:18), anak (3:20) dan budak (3:22-25) yang merupakan anggota rumah tangga yang sering sekali menjadi korban dalam budaya Helenistik. Juga di dalam terang Kristus Paulus mengingatkan pria sebagai kepala rumah tangga (3:19, 21;4:1), sebuah elemen yang sering sekali disalah gunakan dalam budaya Helenistik.[4]

Dalam bagian ini Paulus menegaskan kembali signifikansi dari keilahian Kristus dengan menghimbau orang percaya untuk menjalani sebuah kehidupan yang dipimpin dalam terang Kristus dan dijalani dengan ucapan syukur (3:15-17). Seperti yang tertulis dalam ayat 17: “dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita”. Dan Kolose 3:18-4:1 diikuti dengan catatan mengenai ucapan syukur di ayat 4:2 yang berisi: “bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur”. Karena ucapan syukur menuju pada pengenalan akan pencipta,bagian ini mengingatkan orang percaya untuk menyatakan syukur kepada Tuhan melalui kehidupan yang menggambarkan keilahian Kristus.[5]

Seperti yang disampaikan diatas bahwa bagian ini ditujukan untuk mengatur 3 jenis hubungan dalam keluarga, dimana posisi yang sebelumnya inferior dapat menjadi lebih memiliki kuasa, walaupun aturan rumah tangga tetap dibagi dalam tiga kategori yang lama, namun aturan yang baru ini memberikan visi alternative dalam lingkungan sosial. Adapun ketiga aturan baru tersebut dituliskan dalam Kolose 3:18-25, yang berbunyi demikian:

“18 Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. 19 Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia. 20 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. 21 Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya. 22 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan. 23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. 24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian l  yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya. 25 Barangsiapa berbuat kesalahan , ia akan menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.”

Dari nats diatas dapat terlihat bahwa tiga pola hubungan yang diatur dalam aturan rumah tangga dengan konsep yang baru adalah: Hubungan suami-istri, hubungan orang tua-anak, hubungan tuan-budak. Dalam paper ini saya akan fokus membahas mengenai hubungan suami istri.

Hubungan Suami-Istri Menurut Kolose 3:18-19

Dalam aturan rumah tangga pada saat itu, wanita secara umum hidup dibawah otoritas dari suami atau kepala keluarga (faterfamilias). Tetapi dalam struktur ini, istri diperlengkapi dengan sebuah posisi otoritas terhadap diri mereka sendiri. Wanita bertanggungjawab untuk pekerjaan internal rumah tangga, termasuk di dalamnya proses produksi yang berkaitan dengan bisnis keluarga. Dalam situasi yang kondusif seorang wanita memiliki kuasa untuk memerintahkan budak untuk melakukan hal-hal berkaitan dengan pekerjaan di rumah dan yang berkaitan dengan industri rumah tangga. Rumah tangga merupakan wilayah kekuasaan seorang istri, wanita adalah tuan rumah, dan ketika tidak ada pria (wanita tersebut janda), beberapa wanita bahkan berfungsi sebagai kepala keluarga (paterfamilias). Namun demikian kebanyakan wanita berada di bawah kuasa pria, baik ayahnya maupun suaminya. Roma menggunakan usaha yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan situasi ini, baik di Roma sendiri dan daerah kekuasaannya, dalam rangka untuk mempertahankan tatatertib kenegaraan.[6]

Salah satu cara istri menerima otoritas dan pemerintahan dari suami adalah dengan mengadopsi Tuhan yang dipercayai. Seorang istri diharapkan berpartisipasi dalam penyembahanyang dilakukan dalam keluarga suaminya, dalam beberapa hal ini menimbulkan masalah karena menyembah Allah yang baru tidak menghalangi mereka tetap menyembah allah mereka sebelumnya. Dalam tradisi Roma, wanita mengambil peranan pemimpin dalam ketaatan kepada Allah dari keluarga dan spirit dari keluarga. Istri juga mengajarkan anak mengenai Allah yang dipercayai keluarga dan menyajikan pendidikan religi kepada anak. Untuk seorang wanita penolakan untuk mengadopsi Allah dari suami atau menolak berpatisipasi dalam penyembahan merupakan bentuk penolakan langsung terhadap otoritas suami dan struktur sosial dari keluarga.[7]

Di dalam bagian ini Paulus mengingatkan bahwa kehidupan keluarga Kristen seharusnya terdapat keseimbangan dan perasaan saling menghargai juga cinta kasih karena setiap anggota keluarga tunduk kepada kedaulatan Kristus. Kedamaian dan keharmonisan di dalam keluarga dimulai dengan kemauan setiap anggota keluarga menerima peranan masing-masing. Kepemimpinan mengekspresikan tanggungjawab kepada Allah, bukan hak natural dari seorang pria. Pernikahan Kristen dan kehidupan keluarga bertujuan untuk saling mendorong dalam tanggungjawab bersama dan pertanggungjawaban kepada Kristus dan satu sama lain. Kehidupan seksual yang sangat berarti antara suami dan istri bergantung kepada saling menerima satu sama lain,

Kedekatan hubungan suami dan isteri yang sehat sangat berpengaruh kepada hubungan-hubungan anggota keluarga yang lain. Karena merekalah inti dari keluarga, sebelum anak dan pekerja ada merekalah yang menikah. Setelah anak berpisah dan pekerja pun mungkin meninggalkan mereka, tinggallah mereka berdua. Itu sebabnya tidak heran bahwa Kejadian 1:24 “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Jadi yang bersatu terlebih dahulu haruslah suami dengan isteri. Orang tua mereka telah melepas mereka dan nanti mereka akan melepas anak-anak mereka.

Maka dari itu hubungan suami istri menjadi suatu fokus yang sangat penting untuk diperhatikan dan terus menerus dibaharui di dalam Tuhan,sehingga dengan hubungan suami istri yang harmonis di dalam kasih Tuhan, seluruh keluarga dapat merasakan dampaknya dan mengalami pertumbuhan sesuai dengan tujuan keluarga yang berkenan kepada Allah. Dampak praktis dari hukum pernikahan dan kebiasaan zaman kuno adalah suami menjadi diktator yang tidak terbantahkan, sedangkan istri sedikit lebih baik daripada seorang budak, untuk mengasuh anak-anaknya dan melayani kebutuhannya. Dampak fundamental dari ajaran Kristen adalah pernikahan menjadi suatu kemitraan. Pernikahan menjadi suatu yang dijalani bukan hanya demi kesenangan si suami, melainkan agar keduanya, baik suami maupun istri, dapat menemukan suatu sukacita yang baru dan kelengkapan yang baru di dalam dirinya masing-masing. Setiap pernikahan dimana segala sesuatu dilakukan hanya demi kesenangan untuk salah satu pasangan itu dan di mana yang lain hanya hadir demi memuaskan kebutuhan dan keinginan yang pertama, sama sekali bukan pernikahan Kristen.

Namun pada kenyataannya kebanyakan keluarga tidak menjadikan Kristus kepala atas keluarga, sehingga ada banyak kasus kekerasan rumah tangga terjadi di mana suami suka bertindak kasar, memukul dan menganiaya isterinya sampai babak belur hingga kasus KDRT ini sampai ke ranah hukum.  Apakah ini bisa dikatakan suami mengasihi isterinya?  Ada lagi kasus isteri menggugat cerai suaminya karena telah menelantarkan keluarganya.  Uang hasil kerja keras yang seharusnya untuk membiayai kebutuhan keluarga disalahgunakan suami untuk berfoya-foya, selingkuh, mabuk-mabukan, berjudi, sampai narkoba.  Memprihatinkan sekali. Kita akan melihat bagaimana sebenarnya tanggung jawab seorang istri dan suami menurut pandangan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Kolose.

 

Tanggung Jawab Seorang Istri Menurut Kolose 3:18

Dalam Kolose 3:18 dituliskan: “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan”. Paulus mengulang pesan ini dalam setiap diskusi mengenai kehidupan pernikahan (Ef 5:22; 1 Tim 2:11; Tit 2:5), hal ini menunjukkan adanya kekonsistenan pengajaran yang disampaikan Paulus mengenai hubungan suami istri. Petrus memiliki pesan yang sama (1 Pet 3:1). Ini adalah aturan dasar dalam kehidupan sosial Roma, dimana di dalam Tuhan harus berubah pada suatu aturan baru mengenai kasih dan kesabaran di dalam hubungan perjanjian dengan Kristus dengan gerejanya. Perkataan “tunduklah” dipergunakan dalam konteks militer untuk ketundukan para prajurit terhadap atasannya. Disini Paulus menunjukkan makna yang baru, yang didasarkan kepada cinta dan saling menghormati.[8]

Paulus memulai dengan topik yang sama pada Efesus 5:21, “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus”. Dalam penciptaan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan secara seimbang (Kejadian 1 dan 2). Dengan kejatuhan mnusia ke dalam dosa,keharmonisan dalam hubungan mereka menjadi rusak. Tuhan berfirman kepada perempuan, namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu (Kej 3:16). Konsekuensi kejatuhan manusia dalam dosa adalah wanita harus dengan sepenuh hati mau merendahkan diri kepada suami dan suaminya akan menguasai dia. Kondisi ini terus berkembang sampai saat ini kita dapat melihat betapa banyak suami yang memperlakukan istri dengan sangat tidak baik, kuasa yang diberikan Allah kepada suami dipergunakan dengan semena-mena dan tidak bertanggungjawab.[9]

Namun Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus tidaklah demikian, cinta (eros) dan penggunaan nafsu seksual dalam dunia Romawi tidak lagi dipergunakan dalam perjanjian baru, karena hal itu adalah perbuatan tidak wajar dari natural love. Cinta kasih yang paling utama dalam perjanjian baru adalah agape, yang merupakan tipe cinta kasih yang dikehendaki Allah, yang diberikan Allah secara pribadi kepada manusia melalui Yesus Kristus. Cinta kasih ini tidak mencari penghargaan dan tidak mementingkan keuntungan diri sendiri. [10]

Mengapakah sikap tunduk istri kepada suami merupakan hal yang “seharusnya” di dalam Tuhan”? Ini merupakan nasihat yang baik untuk kaum perempuan Kristen, yang baru dimerdekakan dalam Kristus, yang merasa sulit untuk tunduk. Paulus memberi peringatakan kepada mereka bahwa mereka hendaknya bersedia mengikuti kepemimpinan suami mereka di dalam Kristus. Seorang istri yang bijak dan menghormati Kristus tidak akan berupaya meremehkan kepemimpinan suaminya.[11]

Hal ini juga dapat dipahami dalam dua cara, disatu sisi ini merupakan penegasan bahwa ketundukan seorang istri kepada suami merupakan gambaran sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus sebagai Tuhan. Ketundukannya kepada suami mencerminkan ketundukannya kepada Tuhan, karena Tuhan telah memberikan tanggungjawab kepada suami sebagai kepala dan pemimpin di dalam keluarga. Di sisi lain, kalimat ini dapat menjadi nasihat kepada istri untuk tunduk kepada suami sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Ketika suami gagal dalam kepemimpinannya atau tidak mampu melakukannya, mungkin karena dia seorang pemabuk, pemarah, dan kacau balau, kebanyakan dari kita dapat mengalami situasi keluarga yang tragis. Dalam hal ini seorang suami yang bijaksana akan mengenali kekuatan istrinya dan kekurangan dirinya sendiri, dan bersama-sama mereka akan menerima tanggungjawab keluarga yang berbeda, mungkin dalam mendidik anak, mengurus pekerjaan rumah tangga, mengelola keuangan, dan banyak hal lainnya. [12]

Ketika istri tunduk kepada kepemimpinan suami, maka suami akan tetap memiliki kepercayaan diri dalam menerima pemikiran-pemikiran istri dan mereka dapat menyelesaikan krisis dalam keluarga dengan adanya rasa saling percaya dan hormat, mereka mampu untuk menyatukan pemikiran. Jadi walaupun suami seolah tidak mampu menjalankan kepemimpinan dengan baik, istri hadir sebagai penolong bagi suami dengan sikap yang benar yaitu berpusat kepada Kristus, sehingga istri tidak akan mengambil alih kepemimpinan suami walaupun ia mampu melakukannya.[13]

Ketundukan istri terhadap suami sebagaimana gereja tunduk kepada Kristus menunjukkan adanya sikap sukarela untuk menundukkan diri terhadap suami dan dipandang sebagai bagian daripada kecintaan kepada Tuhan, karena menundukkan diri kepada suami dipandang sebagai cara istri untuk dapat melayani Tuhannya. Dalam tunduk dengan sukarela kepada suami, istri harus melihat ini sebagai sesuatu yang ia lakukan kepada Tuhan, karena dalam relasi pernikahan suaminya merefleksikan Tuhan (Kristus) dan istri merefleksikan gereja. Ada motivasi terus menerus untuk menghormati dan menghargai suami sebagaimana kasih kepada Kristus yang terus bertumbuh.

Tanggungjawab Seorang Suami Menurut Kolose 3:19

Dalam Kolose 3:19 dituliskan: “hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia”. Sesudah anjuran kepada istri untuk tunduk, dengan gambaran suami sebagai kepala, pembaca modern mungkin menantikan anjuran kepada suami untuk “memerintah”atas istri. Tetapi nyatanya, anjuran kepada suami ialah untuk mengasihi istrinya, sama seperti Kristus mengasihi jemaat. Seorang suami yang baik memimpin dengan melayani istrinya, memperhatikan setiap kebutuhan, menghormatinya, dan menerimanya dalam setiap kelebihan dan kekurangannya sama seperti Kristus mengasihi jemaat dan memberi dirinya untuk istrinya (Ef 5:25). Suami harus mengasihi istri sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri.[14]

Dalam budaya Helenistik suami memiliki otoritas dalam pernikahan, ia dapat berperilaku semena-mena terhadap istri. Namun Paulus mengingatkan bahwa suami sebagai kepala jika dilihat dalam analogi Kristus sebagai kepala, menunjukkan adanya otoritas suami terhadap istri dengan cara yang berbeda. Headship suami atas istri, yang harus diakui oleh istri mengikuti pola dari natur suami atas istri, yang harus diakui oleh istri, mengikuti pola dari natur yang unik dari headship Kristus atas gereja, dan sebagaimana menjadi jelas bahwa headship ini mencakup pengertian bahwa Kristus memberikan nyawaNya bagi gereja. Dalam hal ini suami diminta untuk menerapkan “self-giving love” yang tujuannya hanya bagi kebaikan istri dan memelihara istri tanpa mengharapkan balasan. Maka terlihat jelas bahwa nasihat kepada istri untuk tunduk tidaklah terpisah dari panggilan kepada suami untuk memberikan dirinya dalam kasih dan melalui mengorbankan diri. Dalam relasi pernikahan, kasih ini, yang memiliki kerelaan berkorban yang mendalam, tidaklah terpisah dari kasih sayang alami dan kasih seksual, tetapi terwujud di dalamnya dan melaluinya.[15]

Kata-kata “janganlah berlaku kasar” mengingatkan pria untuk tidak menjadi marah ketika istri tidak melakukan apa yang dia harapkan, namun menyadari bahwa dia tidak boleh memaksakan kehendaknya terhadap istri karena hal ini tidak akan membuat dia mampu memenangkan cinta dan rasa hormat istrinya.[16] Hal ini juga menunjukkan bahwa seharusnya suami tidak bersikap kasar, pahit dan masam terhadap istri, tidak menunjukkan adanya kebencian yang merefleksikan dosa secara umum dan kecenderungan hati yang berdosa. Karena dalam sikap yang kasar sangat sulit untuk melihat adanya anugerah Tuhan dalam pernikahan yang dijalani bersama pasangan.[17]

Perilaku kasar terhadap istri menunjukkan sikap kejahatan dan menolak penyembahan terhadap Allah. Jika cinta kasih seorang istri merefleksikan kasih secara general, maka kasih Kristus lebih bersifat khusus dan eksklusif, perilaku kasar yang ditunjukkan suami kepada istri melambangkan adanya penolakan akan kasih yang eksklusif daripada Allah. Jadi bukan hanya sekedar marah dan kasar, tetapi melambangkan penolakan akan kasih Allah yang seharusnya hadir diantara suami istri.[18]

Martin Luther mengatakan:” our life with those closest to us in the family circle is subjected to strains and stresses which we can easily brush off in less personal relationships in the outside world. How we act in the intimacy of the home and marriage circle is a true indication of the quality of our love as Christians”. Pernyataan diatas memiliki makna bahwa hubungan hidup kita dengan orang-orang yang dekat di dalam lingkungan keluarga lebih mudah menimbulkan tegangan dan stress dibandingkan dengan dunia luar. Bagaimana kita bersikap dalam keintiman dengan lingkungan keluarga dan pernikahan adalah indikasi yang sebenarnya mengenai kualitas kasih kita sebagai seorang pengikut Kristus.

Paulus menuliskan dalam Matius 19:5, “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”. Ketika salah satu hubungan antara Tuhan, suami dan istri rusak maka kehidupan pernikahan pasti goncang. Dalam beberapa agama diajarkan bahwa seorang pria harus memuliakan ibunya, sehingga ia gagal untuk memprioritaskan rasa cintanya terhadap istri, sehingga istri akan memasuki masa-masa stress karena kemungkinan besar akan memiliki masalah dengan mertua, demikian juga apabila pria tidak mampu menahan diri dari perselingkuhan dan perzinahan maka keluarganya akan hancur. Sukacita dan harmoni dalam pernikahan adalah buah dari sebuah komitmen satu sama lain kepada Tuhan, keluarga dan sahabat. [19]

Aplikasi Kolose 3:18-19 Dalam Pernikahan Masa Kini

Dengan memahami fokus dari bagian yang disampaikan Paulus dalam nats ini, kita dapat berpikir secara praktis implikasi dari hubungan suami istri, yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan pernikahan masa kini dengan segala kondisi dan permasalahannya. Banyak perubahan terjadi dalam tatanan keluarga sehingga sangat berbeda sekali dengan kondisi yang terjadi pada masa Paulus menuliskan surat kepada jemaat di Kolose. Semakin banyak keluarga yang tidak mengarah pada tujuan Allah terhadap keberadaan keluarga.

Seiring perkembangan zaman, wanita dalam agama Kristen mempunyai derajat yang sama dengan laki-laki, baik sebagai manusia maupun sebagai anak Allah. Agama Kristen menganggap wanita setara dengan laki-laki, manusia adalah manusia dan tidak boleh didiskriminasi menurut jenis kelamin maupun etnis, dengan bukti banyaknya wanita yang ditasbihkan menjadi diakon gereja.[20]

Kesadaran akan kesejajaran gender tersebut, dewasa ini semakin meningkat dengan bukti banyaknya wanita yang merambah ke ranah publik, yang selama ini didominasi pria. Wanita telah banyak bekerja di luar rumah dan banyak di antara mereka menjadi wanita karier. Fenomena ini berawal di dunia Barat kemudian merambah ke seluruh dunia, dengan pandangan bahwa wanita karier adalah wanita yang bebas menentukan jalan hidupnya, pekerjaannya, berpenghasilan banyak, modern serta iming-iming lain bisa mempengaruhi wanita untuk terjun ke dunia karier. Para suami biasanya menjadi pemberi nafkah satu-satunya bagi keluarga mereka sementara para istri tinggal di rumah untuk menjaga anak-anak dan rumah. Namun saat ini, banyak wanita pergi bekerja, mengejar posisinya sampai ke atas, menenggelamkan diri dalam pekerjaan selama berjam-jam, dan memilih karier yang akan memberi mereka lebih banyak uang dan puncak kehidupan. Tidak jarang terjadi penghasilan istri jauh melampaui penghasilan dari suami. Menurut statistik, kira-kira dua puluh persen wanita tidak mendapatkan nafkah dari pasangan mereka.

Dengan kondisi jabatan lebih tinggi dan penghasilan istri jauh melampaui penghasilan suami, bagaimanakah seorang istri dapat tunduk kepada suaminya? Terdapat banyak kasus dimana istri memandang rendah dan berperilaku tidak sopan terhadap suami yang dianggap tidak mampu bersaing di dunia luar, sehingga istri yang mengambil alih peranan dalam bekerja dan menghasilkan uang. Istri yang memperoleh pendapatan lebih banyak juga cenderung akan membuat wanita kehilangan semua penghargaan kepada suaminya, yang pada akhirnya akan memengaruhi pernikahan mereka secara keseluruhan.

Bagaimana seharusnya istri tersebut menyikapi situasi dalam keluarganya yang demikian? Sesuai dengan ajaran Kekristenan, terutama sesuai dengan surat Kolose wanita tetap harus tunduk kepada suami walaupun jabatan dan penghasilannya lebih tinggi. Karena istri melakukannya sebagai sikap hormat dan penyembahan kepada Tuhan, ketundukan kepada suami menggambarkan ketundukannya kepada Tuhan. Firman Tuhan berkata, “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?” (1 Korintus 4:7) Bahkan, apa yang kita miliki yang tidak diberikan kepada kita oleh Allah? Setiap kali seorang istri memperoleh pendapatan yang lebih banyak daripada suaminya, itu karena anugerah Allah! Dan, siapa yang tahu, mungkin karena alasan ini, seorang istri diletakkan di posisi tersebut untuk melengkapi usaha-usaha suaminya dalam peran yang diberikan Allah kepadanya sebagai “penolong yang sepadan”, yaitu seorang penolong yang tepat bagi suaminya. Dengan memiliki sikap demikian, maka istri tetap dapat menjaga ketundukannya terhadap suami dan menjaga kewibawaan suaminya baik di hadapan anak-anak, keluarga, dan lingkungan masyarakat.[21]

Selain kasus diatas, dampak berkembangnya wanita karir adalah maraknya wanita sukses yang enggan menikah karena mereka merasa tidak membutuhkan suami untuk memberikan penghidupan, mereka mampu hidup mandiri tanpa harus mendapatkan uang dari suami. Allah memang tidak mengharuskan wanita untuk menikah dan menjadi istri, namun dengan alasan yang tepat. Karena ada beberapa alasan yang dapat diterima mengapa wanita tidak menikah, misalnya saja wanita tersebut mendapatkan panggilan secara khusus untuk fokus melayani Tuhan dengan menjadi single [22], mengalami gangguan fisik yang sulit untuk menjalani pernikahan, dan lainnya. Alasan tidak menikah karena mampu memenuhi kebutuhan sendiri bukanlah alasan yang tepat dan dapat diterima sesuai dengan surat Kolose, wanita perlu menundukkan diri dan melayani keluarga sebagai bagian dari pertumbuhan iman dan kecintaan kepada Tuhan.

Pernikahan pada masa ini banyak mengalami konflik yang tidak memiliki solusi sehingga berujung pada perceraian. Data Biro Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 menunjukkan data perceraian sebanyak 347256 dari 1958394 pasangan yang menikah pada tahun tersebut, jumlah yang sangat besar. Komnas Perempuan Indonesia mengungkapkan terdapat 259.150 kasus kekerasan atas perempuan sepanjang tahun 2016, yang dihimpun dari data di Pengadilan Agama dan yang ditangani lembaga mitra pengadaan layanan di Indonesia.  seluruh data yang dihimpun 94% berasal dari kasus/perkara yang ditangani pengadilan agama yaitu 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berakhir dengan perceraian. Sementera kekerasan yang terjadi di ranah personal ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan mencapai 10.205 kasus.[23]

Pandangan Kristen terhadap pernikahan sangatlah jelas, pasangan yang sudah menikah tidak boleh bercerai. Dalam Matius 16:6 dikatakan: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.  Sehingga tidak ada celah untuk pasangan yang sudah dipersatukan dalam Tuhan untuk bercerai. Suami dan istri haruslah bekerjasama untuk mengerjakan pernikahan mereka, memenuhi tanggung jawab dan peranan masing-masing sesuai dengan yang Paulus sampaikan dalam Kolose 3:18-19. Istri harus tunduk kepada suami, dan suami harus mengasihi istrinya.

Faktanya, setiap pasangan perlu mengintrospeksi pernikahan mereka dari waktu ke waktu. Dalam kebanyakan situasi, hal itu mencakup menuntaskan perselisihan kecil. Namun, dalam beberapa perkawinan, mungkin ada problem yang lebih berat yang mengancam kelangsungan hubungan itu. Kadang-kadang, pasangan suami istri mungkin perlu meminta bantuan seorang penatua Kristen yang berpengalaman dan sudah berumah tangga. Tetapi, situasi ini tidak mengartikan bahwa pernikahan tersebut gagal. Hal itu hanya menandaskan pentingnya berpaut erat pada prinsip Alkitab untuk mencari solusinya.

Sebagai Pencipta manusia dan Pemrakarsa pernikahan, Tuhan paling mengetahui apa yang dibutuhkan untuk menikmati hubungan pernikahan yang sukses. Ketika suami dan istri memiliki kesepakatan untuk bersama-sama mendekat kepada Kristus dan menjadikan Kristus sebagai kepala atas keluarga, maka keluarga pasti dapat hidup dengan baik karena Kristus ada di tengah keluarga tersebut, dapat digambarkan dengan gambar di bawah ini.

 

 

Pertanyaannya sekarang: Maukah kita mendengarkan nasihat dalam Firman-Nya dan menaatinya? Kita pasti akan memperoleh manfaat jika kita mau. Tuhan menyatakan kepada umat-Nya pada zaman dahulu, ”Oh, seandainya saja engkau mau memperhatikan perintah-perintahku! Maka damaimu akan menjadi seperti sungai, dan keadilbenaranmu seperti gelombang-gelombang laut.” (Yesaya 48:18) Dengan berpaut pada pedoman Alkitab, pernikahan dapat berhasil.

 

BIBLIOGRAFI

Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan: Seri Life Aplication Study Bible.

Clinton, Bruce. Studi Perjanjian Baru bagi Pemula. Jakarta: BPK Mulia, 2000.

Ludy, Leslie. Sacred Singleness. Eugene: Harvest House Publishers, 2009.

Moo, Douglas J. The Letters to the Collossians and to Philemon. Nottingham: Apollos, 2008.

Muljono, Ina E.. “Aturan-Aturan Rumah Tangga,”  materi kuliah Hermeneutika, 2017.

Nicholls, Bruce. Colossians and Philemon: Asia Bible Commentary Series. Singapore: Asia theological Association, 2005.

“Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012–2015 – Badan Pusat Statistik” https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893 (diakses 29 Oktober 2017).

Omamokta. “Can Marriage Work Where The Woman Earns More Than Her Husband?” http://www.nairaland.com/886529/marriage-work-where-woman-earns (diakses16 November 2017).

Pao W, David. Exegetica Commentary on the New Testament. Michigan: Zondervan, 2012.

Sumney L, Jerry. Collosians: A Commentary. london: Westminster John Knox Press, 2008.

 

[1] Douglas J. Moo, The Letters to the Collossians and to Philemon (Nottingham: Apollos, 2008), 292-293.

[2] Jerry L. Sumney, Collosians: A Commentary (London: Westminster John Knox Press, 2008), 230-231.

[3] Jerry L. Sumney, Collosians, 232.

[4] David W. Pao, Exegetica Commentary on the New Testament (Michigan: Zondervan, 2012), 257.

[5]  Pao, Exegetica Commentary, 258.

[6] Jerry L. Sumney, Collosians, 232.

[7]  Sumney, Collosians, 233.

[8] Bruce Nicholls,  Colossians and Philemon: Asia Bible Commentary Series (Singapore: Asia theological Association, 2005), 171.

[9] Nicholls,  Colossians and Philemon, 171.

[10] Nicholls,  Colossians and Philemon, 172.

[11] Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan: Seri Life Aplication Study Bible, 2562

[12] Nicholls,  Colossians and Philemon, 173.

[13] Nicholls,  Colossians and Philemon, 173.

[14] Nicholls,  Colossians and Philemon, 173.

[15] Ina E. Muljono, Aturan-Aturan Rumah Tangga  (materi kuliah hermeneutika), 2017.

[16] Nicholls,  Colossians and Philemon, 173.

[17] Pao, Exegetica Commentary, 268.

[18] Pao, Exegetica Commentary, 268.

[19] Nicholls,  Colossians and Philemon, 173.

[20] Bruce Clinton, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula (Jakarta: BPK Mulia, 2000), 173.

[21] Omamokta,“Can Marriage Work Where The Woman Earns More Than Her Husband?” http://www.nairaland.com/886529/marriage-work-where-woman-earns (diakses16 November 2017).

[22] Leslie Ludy, Sacred Singleness (Eugene: Harvest House Publishers, 2009), 17.

[23] Biro Pusat Statistik, “Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2012–2015 – Badan Pusat Statistik” https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893 (diakses 29 Oktober 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *